Tuesday 17 June 2014

HAM DI INDONESIA



TUGAS INDIVIDU
HUKUM TATA NEGARA
HAM DI INDONESIA”





Disusun Oleh:
Edy Darmawan                  (12401244027)





PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014




BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar belakang
            Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan. Karena sifatnya yang sangat rentan oleh pelangggaran Hak Asasi Manusia (HAM) negara berkewajiban untuk melindunginya.
            Salah satu ciri negara Demokratis adalah dicantumkanya Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konstitusinya. Negara Indonesia mengakui dirinya sebagai negara yang demokratis, dan dengan dimasukannya Hak Asasi Manusia di dalam UUD 1945nya. Hal tersebut bisa kita lihat dalam UUD NKRI 1945 setelah amandemen dalam pasal 28 a – 28 j.
            Akan tetapi konsepsi dasar akan Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia masih mengacu pada barat, selain itu juga dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Komnas HAM menuai dan menyebabkan kontrofersi.
    II.            Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah yaitu Hukum Tata Negara, sebagai tugas akhir semester.

 III.            Ruang Lingkup
Jika Membicarakan tentang HAM, tentu saja akan sangat luas, karena sifatnya yang Universal dan Mendunia. Jadi penulis membatas batasan masalah menjadi sebagai berikut :
A.    Apa itu Hak Asasi Manusia ?
B.     Bagaimana HAM dalam Berbagai Perspektif ?
C.    Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
D.    HAM dalam Konstitusi Indonesia
E.     Kebijakan Indonesia dalam Penegakkan HAM



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hak Asasi Manusia
           Pengertian tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terus berkembang dari masa ke masa, menjadi sangat luas dan terbuka dalam perumusannya. Ham secara umum diartikan sebagai hak-hak yang bersifat kodrati dan universal. Hak – hak ini sudah melekat dengan sendirinya pada diri manusia sejak lahir. Kekuasaan atau otoritas dalam bentuk apapun tidak dapat mencabut dan merampas HAM di dunia ini. Untuk itu, Negara bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan untuk memenuhi pelaksanaannya. (Judianti, Dkk. 2011 : 4)
           Jadi bisa kita ketahui bahwasanya HAM merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa, dan setiap manusia di dunia ini pasti memiliki HAM. Itulah mengapa biasanya HAM dikatakan kodrati dan bawaan manusia sejak lahir.
Di atasa dikatakan bahwasanya Negara tidak berhak merampas HAM dari setiap warga negaranya, memang negara tidak boleh dan tidak bisa merampas HAM akan tetapi disini negara hanya berperan untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi pelaksanaan HAM.
           Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948 dalam pasal 1 menyatakan “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan” (Judianti, Dkk. 2011 : 4)
           Berdasarkan pasal 1 deklarasi tersebut, nilai-nilai HAM yang dapat dipetik adalah martabat (dignity), kesetaraan (equality), dan kebebasan (liberty). Martabat dijabarkan adalah setiap orang dan individu yang pantas dihormati atau dihargai tanpa mempedulikan usia, budaya, kepercayaan, etnik, ras, gender, orientasi/pilihan seksualnya, bahasa, ketidakkemampuan atau kelas sosialnya. Kesetaraan dijabarkan adalah manusia terlahir secara merdeka dan sederajat. Kebebasan dijabarkan adalah hak yang dimiliki secara bebas, hak tidak bisa berubah dan hak yang dialami sama dan tidak bisa diambil, diserahkan ataupun dialihkan oleh siapapun. (Judianti, Dkk. 2011 : 4)
           Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB, secara garis besar memiliki 3 (tiga) unsur yaitu Martabat, Kesetaraan, dan Kebebasan. Martabat, setiap manusia di dunia ini memiliki martabat dan harga diri. Oleh karena itu baik negara, kelompok, ataupun individu tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang bisa merusak martabat dan harga diri pihak lain. Kesetaraan, seluruh manusia di bumi ini mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang sama, dan diberlakukan sama dengan yang lainnya. Makna dari kesetaraan adalah, bukan berarti orang yang lebih kaya mempunyai perlakuan yang lebih spesial, sedangkan yang miskin tidak memiliki kesempatan. Bukan seperti itu, kesetaraaan adalah kedudukan yang seimbang tanpa dilihat dari segi umur, jabatan, kekayaan dan lain-lain. Kebebasan, setiap manusia bebas melakukan apapun asal tidak melanggar norma atau hukum yang berlaku di daerah tersebut. Makna kebebasan sangat luas, seperti halnya kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk mendapatkan pendidikan, kebebasan dibidang ekonomi, dan lain sebagainya.
           Akan tetapi dalam kenyataannya dan dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita menemui berbagai pelanggaran dan kita temukan persoalan-persoalan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Entah itu berupa deskriminasi, Rasis, dan lain-lain. “Pelanggaran HAM adalah suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir  dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia (Rhena, 2008 : 69).
           Tentu saja manusia dilahirkan secara berbeda-beda, baik dalam kultur, kebiasaan, bahasa, dan norma yang berbeda, akan tetapi pada dasarnya setiap HAM yang dimiliki itu sama. Negara selaku organisasi kekuasaan yang tertinggi tidak boleh merebut HAM secara sewenang-wenang dan semaunya sendiri. Negara selaku organisasi tertinggi bertugas untuk, menjaga, melindungi, menghormati, dan memenuhi Hak-Hak Asasi Manusia Setiap warga negaranya.

B.     HAM dalam Berbagai Perspektif
           Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagad, sejak pertengahan abad ke-20. Hingga kini tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosal, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. HAM tidak hanya dipandang dari sudut kepemilikan dan bagaimana dijalankan, melainkan lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut HAM dapat dilihat dari perspektif Islam, politik, sosiologis, dan geografis. (Jazim dan Mustafa. 2010 : 231) :
1.      HAM dalam Perspektif Islam
               Ketika memahami HAM dalam perspektif islam tentu lebih mudah, karena islam adalah ajaran komprehensif yang bersumber dari wahyu Illahi (Al-qur’an) dan berfungsi sebagai petunjuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan).
               Cara pandang islam terhadap HAM tidak terlepas dari cara pandangannya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang terhormat (QS Al-israa’/6:70), (QS Al-Hijr/15 : 28-29) dan fungsional (QS Al-an’am/6 : 165), serta (QS Al-Ahzab/ 33 : 72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang riil agar ia dapat terpuji sebagai mahkluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, manusia disebut khalifah dalam pengertian mandataris yang diberi kuasa dan bukan sebagai penguasa. Dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah SWT (karena itu Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum – hukumnya. Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (QS Al-Ahzab/ 33 : 72).
Seorang manusia mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah SWT. Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari perspektif barat, tidak bersifat anthroposentris tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah SWT sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk kualitas kesadara keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-qur’an dan Al-hadist.
a.       Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam al-qur’an surat Al-Israa ayat 33.
b.      Pengamanan hak milik pribadi (QS. Al-Baqarah 2:181)
c.       Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (QS. An-Nur 24 : 27)
d.      Hak untuk memperoleh keadilan hukum.
e.       Hak untuk menolak kezaliman (QS. An-Nisa 4:148)
f.       Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (QS. Al-A’raf 7:165 dan QS. Al-Baqarah 2:110)
g.      Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan dengan menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkat.
h.      Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali dalam ayat-ayat al-qur’an yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah QS. Ali-Imron 3:10.
i.        Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan kata lain, seseorang harus dianggap tidak bersalah jika belum terbukti melakukan kejahatan.
j.        Hak memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan seseorang atas orang lain.(QS. Al-Qashash 28:4)

Beberapa hak yang sudah dipaparkan diatas merupakan suatu bukti jika Islam memandang HAM dari segi hubungan antara Allah SWT dengan manusia maupun manusia yang satu dengan manusia lainnya. Hak-hak tersebut merupakan pemberian dari Allah SWT kepada setiap mahkluk-NYA setelah menjalankan kewajibannya, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama satu dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah SWT yang berhak menentukan segalanya.

2.      HAM dalam Perspektif Politik
               Sering terdengar jika dalam politik dikenal tidak ada lawan ataupun kawan, yang ada hanyalah kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seseorang dalam politik dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang mempunyai keduduka yang sama, dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang lainnya saling mencari alasan agar kekuasaan tersebut jadi miliknya.
               Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama,  maksudnya adalah kesempatan yang sama untuk berpolitik.  Yang membedakan hanya status sosial yang diperoleh setelah ia dapat meyakinkan orang lain tentang konsep politik yang ditawarkan. Sudut pandang politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik kepentingan probadi, kelompok ataupun golongannya.
3.      HAM dalam Perspektif Sosiologis
               Secara sosiologis setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat dan mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya, mereka tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyarakat. Mereka adalah mahkluk sosial yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi.

4.      HAM dalam Perspektif Geografis
               Secara geografis seseorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan kemampuannya dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam perspektif geografis adalah bahwa seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan diterima oleh suatu wilayah apabila wilayah tersebut secara umum dapat ditempati/menjadi kewenangannya.  HAM dalam perspektif geografis dipandang secara manusiawi bahwa manusia dapat menjadikan bumi sebagai media untuk memperoleh manfaat dan memberikan manfaat tersebut kepada orang lain.

C.    Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
           Sistem nilai uang menjelma dalam konsep hak asasi manusia (HAM) tidaklah semata-mata sebagai produk Barat melainkan memiliki dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama. Pandangan dunia mengenai HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia (Satya Arinanto 2009 : 1)
           Perbincangan dan wacana tentang HAM terus berkembang seiringan dengan mulai sadar dan mulai bertambahnya intensitas kesadaran semua manusia atas hak dan kewajiban yang dimiliknya. Namun demikian, wacana HAM menjadi aktual karena sering dilicehkan direbut dengan sewena-wena dan juga tidak dihargai sama sekali dalam sejarah manusia sejak awal dan mungkin hingga kini juga. Gerakan dan desiminisi HAM terus berlangsung seperti halnya seminar-seminar dan diskusi-diskusi tentang orang-orang hilang saat era orde baru, dan juga tentang capres yang diduga melakukan pelanggaran HAM, dan lain-lain.
           Begitu derasnya kemauan dan daya desak akan HAM, maka apabila terjadi disebuah negara yang melakukan pelanggaran HAM, mengabaikan HAM, dan juga tidak memenuhi HAM, dengan sekejap mata nation-state dibelakang bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai negara adi kuasa memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo, dan lain sebagainya.
Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM)
The focus of human rights is on life and dignity of human beings, demikian tegas Manred Nowak. Todung Mulya Lubis dalam (Satya Arinanto 2009 : 5) menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights are rights that belong to all human beings at all times and in all places by virtue of being born as human beings).
           Kedua, teori positivis (positivisist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riil, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws and contracts). Pandangan ini secara nyata berasak dari ungkapan Bentham yang mengatakan, rights is a child of law, law of nature, come imaginary rights. Natural rights is simple nonsens, natural and impresicible rights rethorical nonsens, nonsens upon still.
           Ketiga, teori relarivis kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu bentuk antitesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan dan menganggap bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran suatu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural. Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban yang yang berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human) . oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human being at all times in all places would be the rights of desocialized beings.
           Keempat, doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights). Doktrin Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak (repositiory of all rights). Hak-hak mendapat pengakuan dari negara dan kolektifitas. Dengan kata lain, all rights derive from the state, and are not naturraly possessed by human beings by virtue of having been born.
D.    HAM dalam Konstitusi Indonesia
           Dalam praktik bernegara, terlaksananya perlindungan HAM secara baik, dan pemenuhan HAM setiap warga negaranya dengan baik itu tergantung dari pihak yang berkuasa pada saat itu yang memimpin penyelenggaraan negara pada saat itu. Mengapa dikatakan terhantung dari pemimpinnya ?. hal itu dikarnakan Pemimpin yang sedang memimpin sangat berpengaruh terhadap pemenuhan HAM pada suatu negara. Misalkan sebagai contoh adalah, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyomo, memiliki tindakan yang berbeda dalam memberlakukan HAM setiap warga negaranya.
           Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi merupakan pilihan terbaik dalam ikata ideologis antara yang berkuasa dan rakyat. Konstitusi hadir sebagai “kata kunci” kehidupan modern. Sebagai bagian terpenting dalam kehidupan bernegara, konstitusi sekaligus mencerminkan hubungan yang signifikan antara pemerintah dengan rakyat. Tidak dapat dinafikan konstitusi berperan penting sebagai hukum dasar yang menjadi acuan bagi kehidupan sebuah negara, tidak terkecuali pengaturan tentang perlindungan HAM (Majda, 2009 : 61)
           Kehadiran konstitusi tidak saja memberikan gambaran-mengenai apa saja yang menjadi kewajiban bagi warga negara, dan juga apa saja yang menjadi kewenangan pemerintah. Hadirnya konstitusi yaitu memiliki fungsi utama adalah agar pemerintah tidak berbuat sewenang-wenang kepada rakyat, jadi secara tidak langsung kehadiran konstitusi itu memberi perlindungan kepada rakyat.
           Pentingnya jaminan konstitusi atas HAM membuktikan, bahwa komitmen suatu negara atas kehidupan demokratis dalam payung hukum. Karena saat sekarang ini, salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya perlindungan HAM dalam konstitusinya. Memang di indonesia HAM sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuna 1945. Dalam UUD NKRI Tahun 1945, HAM diatur dalam pasal 28, 28 A – 28 J. Selain itu juga masih ada peraturan-peraturan lain yang mengatur HAM dan berkaitan tentang HAM seperti halnya UU Nomor 39 Tahun 1999, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan masih banyak peraturan dan undang-undang yang memiliki hubungan dengan HAM.
           Dalam konteks ini, kita bisa lihat tentang UUD NKRI Tahun 1945. Secara historis, UUD NKRI Tahun 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan/amandemen. Dimana akhirnya hasilnya adalah HAM memiliki tempat dalam UUD NKRI Tahun 1945, terlihat dalam pasal 28. Dimana pada saat sebelum amandemen pasal 28 hanya memiliki 2 pasal. Lalu setelah amandemen, Pasal 28 memiliki banyak bagian, diantaranya pasal 28A sampai 28J. Selain itu juga, produk UU dan Peraturan-peraturan lain yang menyangkut tentang perlindungan HAM telah banyak dikeluarkan.
           Akan tetapi jika dibandingkan dengan realita sekarang adalah, sudah banyak peraturan-peraturan dan bahkan undang-undang yang mengatur tentang HAM di indonesia. Dan kondisi sekarang adalah masih kurangnya penegakkan HAM di indonesia. Seperti halnya capres yang dulu telah terbukti melakukan pelanggaran HAM pada saat masih menjabat di TNI. Para pelaku yang melakukan Tindak pelanggaran HAM saat era orde baru.
           Di indonesia sudah banyak peraturan dan undang-undang sudah cukup banyak, akan tetapi penegakkan HAM di indonesia masih belum maksimal, entah itu dikarnakan kendala dalam biaya, dalam infra struktur, atau mungkin dari pemerintah itu sendiri. Tetap saja apabila sebaik apapun peraturan itu dibuat, apabila tidak ditegakkan maka sama saja peraturan tersebut tidak ada.

E.     Kebijakan Indonesia dalam Penegakkan HAM
           Penegakkan HAM di indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sangat disayangkan, mengapa demikian ?. hal itu dikarnakan Perlindungan HAM di indonesia terkadang mengalami bertentangan dengan pancasila. Bisa dikatakan konsepsi tentang HAM masih mengarah dan mengacu pada HAM dalam konsepsi dari negara barat. Dimana biasanya negara-negara barat memiliki beberapa nilai-nilai yang bertentangan dengan Landasan negara indonesia yaitu Pancasila. Bukan hal yang aneh memang, karena sekarang banyak ilmu yang dihasilkan dari produk barat, akan tetapi disini kita masih memiliki agama dan pancasila dimana keduanya bisa menjadi penyaring, yaitu yang mana yang sekiranya baik dan pas untuk indonesia dan yang mana yang sekiranya tidak baik dan tidak cocok untuk negara indonesia.

           Penegakan HAM di indonesia dilakukan oleh KOMNAS HAM atau dikenal dengan komisi nasional perlindungan HAM. Akan tetapi ternyata apa yang dibela oleh KOMNAS HAM bertentangan dengan pancasila. Berikut paparannya yang dikutip dari buku yang berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan”  karya dari Muhammad Junaidi.
Pertama, pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran agama islam. Padahal sesuai dengan UU Penodaan Agaman yang tertuanf dalam Penpres No.1/1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP pasal 156a tentang pelarangan penodaan agama. Mestinya semua aliran sesat yang telah menodai ajaran agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan dilegimitasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Ditambah lagi dengan putusan Sidang PBB di jenewa-swiss pada tanggal 26 Maret 2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.”
“Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat dalam pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang merupakan icon LGBT internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat langsung dalam rangkaian acara “Konter Waria” di Hotel BumiWiyata Jl. Margonda Raya, Depok Jawa Barat, pada tanggal 30 April 2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para aktivis LGBT ikut fit and proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM. Padahal, LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama islam dan bertentangan juga dengan empat pilar utama Negara dan bangsa Indonesia, yaitu : Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.”
“Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas serta pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada minoritas non muslim, sehingga tidak ada itu tindak deskriminasi yang merugikan kalangan non-muslim. Bahkan jika mayoritas diwajibkan tunduk dan patuh kepada syariat Islam, justru minoritas akan terlindungi, karena syariat islam adalah rahmat untuk semesta alam. Soal adat dan budaya, islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya selama tidak melanggar norma agama. Adapun yang melanggar mesti diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah, keterbelakangan itu harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap primitif.
           Memang penegakan di HAM di Indonesia seharusnya lebih mempertimbangkan aspek-aspek yang menadi landasan luhur di Negeri ini seperti halnya Pancasila selaku ideologi, dan juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Selain itu juga, harus mempertimbangkan dengan budaya-budaya yang ada di indonesia dan tentu saja juga dengan agama. Memang terlihat sulit, akan tetapi apabila Komnas HAM memang benar-benar melakukan perlindungan HAM dengan berlandaskan Pancasila dan Agama, mungkin Komnas HAM akan lebih bijak dan juga bisa lebih selektif dalam melakukan perlindungan HAM..
























BAB III
Kesimpulan
            Sejatinya Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati, hak yang diberikan oleh tuhan, dan juga dimiliki oleh manusia sejak ia lahir. Hak ini tidak diberikan oleh negara atau pemerintah. Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia (HAM) disebut juga dengan Natural Rights. Walaupun Hak Asasi Manusia (HAM) tidak diberikan oleh Negara, Negara berhak untuk melindungi HAM, menghormati HAM, dan juga memenuhi pemenuhan HAM setiap warga negaraya. Negara tidak berhak dengan sewenang-wenang merebut Hak Asasi Manusia dari setiap individu warga negaranya.
            Memang perlindungan HAM itu masih menjadi kontrofersial antara wacana dan realitanya itu berbeda. Di indonesia sendiri penegakan HAM di indonesia masih banyak mengalami permasalahan mulai dari belum terpenuhinya Hak Asasi Manusia setiap warga negaranya, dan juga dalam penegakan HAM itu sendiri.
            Peraturan-peraturan dan Undang-undang yang berkaitan dan bahkan mengatur tentang HAM itu banyak, akan tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan dan ditegakan. Namun, dalam hal penegakan juga masih mengalami masalah. Dalam penegakan HAM Komnas HAM terkadang bertentangan dengan pancasila dan nilai-nilai keagamaan. Seharusnya, Komnas harus bisa lebih selektif lagi dalam masalah pembelaan HAM. Dan lebih berlandaskan pada pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.















Daftar Pustaka

Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education. Jakarta : Gramedia.
Judianti, dkk. 2011. Memahami HAM dengan Lebih Baik. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Majda, El Muhtaj. 2009. Dimensi-Dimensi HAM. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Muhammad, Junaidi. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rhena, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII.

Monday 17 March 2014

Jangan Salahkan Kaum GOLPUT

Sebentar lagi negara kita tercinta akan mengadakan pemilihan presiden untuk yang kesekian kalinya. Akan tetapi dalam sejarah pemilihan umum presiden di indonesia sering kali menemui masalah, entah itu mengenai peralatannya, mengenai sistem dan tata caranya, dan mengenai rakyat indonesia yang tidak memberikan suaranya atau yang sering kita kenal dengan Golongan Putih (GOLPUT).
Setiap orang secara bebas untuk memberikan atau menggunakan suaranya pada saat Pemilihan Umum nanti. Memilih calon pemimpin yang sesuai dengan kehendak hati, dan yang disukainya. Akan tetapi yang sering kita dengar beberapa belakangan ini adalah tentang meningkatnya jumlah Golongan Putih (GOLPUT) dari masa ke masa.
“Pada saat pemilu pertama yaitu pada tahun 1955 partisipasi pemilih mencapai 91,41% dimana pada saat tersebut para partai masih mempunyai ideologi yang kuat dan bahkan menjadi ciri khasnya masing-masing. Pemilu pada tahun 1971 partisipasi pemilih mencapai 96,62%. Pada pemilu tahun 1977 tingkat partisipasi pemilih turun akan tetapi tidak terlalu drastis yaitu menjadi 96,52%. Pada pemilu 1982 tingkat partisipasi meunurun menjadi 96,47%. Pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi mencapai 96,43%. Lalu pada tahun 1992 partisipasi pemilih 95,06%. Dan pada tahun 1997 partisipasi pemilih mencapai 93,55%. Pada pemilu 1999 tingkat partisipasi mencapai 92,74%. Dan setelah itu pada tahun 2004 tingkat partisipasi mencapai 84,07%. Pada pemilu 2009 lalu, tingkat partisipasi Pemilih hanya 70,99%”. Data partisipasi diatas saya kutip dari. http://politik.kompasiana.com/2012/12/17/golput-menang-lagi-511740.html .
Jadi bisa disimpulkan, bahwa pemilu dari masa ke masa jumlah Golongan Putih (GOLPUT) selalu bertambah. Entah apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi, mungkin jika ditelisik lebih dalam banyak penyebabnya.
Kita semua bebas untuk menggunakan hak suara kita pada saat pemilu nanti, itu adalah hak setiap warga negara. Lalu, bukankah untuk warga negara yang tidak menggunakan suaranya pada saat pemilu, itu juga merupakan haknya ?, dan GOLPUT bukan berarti tidak bermoral. Disini, penulis bukan berarti menghimbau pada para pembaca kompasiana sekalian untuk GOLPUT. Bukan itu maksud dari penulisan Opini ini, dan juga disini penulis tidak Pro pada GOLPUT atau Kontra pada kaum GOLPUT.
Akan tetapi disini penulis hanya sekedar mengeluarkan opini yang ada dalam pikiran sendiri. Pertama, jangan berpandangan negatif terlebih dahulu terhadap para kaum GOLPUT. Saya yakin, mereka GOLPUT pasti memiliki alasan. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang-orang yang GOLPUT. Disini jujur, kepercayaan saya kepada para CALEG juga lumayan cukup berkurang, hal itu dikarnakan karna banyaknya para Wakil Rakyat yang terkena kasus korupsi. Selain itu juga, tidak semua Wakil Rakyat itu mewakili suara rakyat akan tetapi para Wakil Rakyat bisanya lebih mendahulukan kepentingan partainya. Mungkin karena hilangnya kepercayaan pada para CALEG atau Wakil Rakyat itu menjadi penyebab warga negara tidak menggunakan suaranya.
Kedua, ubah perspektif buruk jika melakukan GOLPUT. Mungkin menurut beberapa orang-orang yang GOLPUT, tidak menggunakan suaranya merupakan jalan terakhir ketika pada saat pemilu tidak ada CALEG atau Wakil Rakyat yang mumpuni atau yang memang memiliki integritas tinggi dan mementingkan aspirasi rakyat.
Seharusnya jumlah GOLPUT yang semakin meningkat menjadikan setiap partai yang ikut pemilu menginstropeksi diri, dan mencoba menjadi lebih baik. Jika memakai logika, akankah kita memilih partai yang memakan uang rakyat sendiri ?.
Ketika pemilu, terdapat CALEG atau Wakil Rakyat yang sekiranya bisa dilihat track record nya atau rekam jejaknya berstatus baik dan atau memiliki integritas tinggi terhadap rakyat maka GOLPUT itu bukan menjadi hal yang baik. Akan tetapi apabila pada pemilu nanti tidak ada CALEG atau Wakil Rakyat yang seperti diharapkan rakyat, maka warga negara bebas untuk menentukan sikapnya sendiri. Apakah tetap menggunakan suara untuk memilih CALEG atau Wakil Rakyat yang tidak berkompeten. Atau tidak menggunakan hak suaranya.

oleh : www.kompasiana.com/edyPKnH (edy darmawan)